1. Review Jurnal Sistem Informasi Geografis dalam Perikanan Budidaya dengan Judul “Aplikasi Sistem Informasi Geografis Dalam Penentuan Kesesuaian Kawasan Keramba Jaring Tancap dan Rumput Laut Di Perairan Pulau Bunguran Kabupaten Natuna”.
Masyarakat yang tinggal di wilayah Kabupaten Natuna menggantungkan hidupnya dengan melakukan aktifitas di bidang perikanan, baik itu penangkapan maupun budidaya. Usaha budidaya yang dilakukan di wilayah pesisir harus sesuai dengan daya dukung lingkungan wilayah pesisir tersebut. Jika hal ini tidak sesuai akan dapat menimbulkan permasalahan-permasalahan baru, baik itu dari usaha itu sendiri maupun dari factor lingkungan. Oleh karenanya sangat perlu dilakukan pengidentifikasian lokasi-lokasi yang cocok dan layak secara parameter guna pengembangan usaha KJT dan budidaya rumput laut ini. Hal ini diperkuat oleh Affan (2012), yang menyatakan bahwa Pemilihan lokasi yang tepat dan baik merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan usaha budidaya laut disamping ketersedian benih, pakan serta terjaminnya pasar dan harga. Pemilihan lokasi harus mempertimbangkan factor lingkungan dan kualitas air. Kelayakan lokasi merupakan hasil kesesuaian di antara persyaratan hidup dan berkembangnya suatu komoditas budidaya terhadap lingkungan fisik perairan. Lingkungan fisik yang dimaksud meliputi kondisi oseanografi dan kualitas perairan serta topografi dasar laut. Penggunaan teknologi SIG dapat membantu analisis untuk memilih lokasi yang tepat berdasarkan data pengukuran parameter fisika dan kimia perairan.
            Data yang dipakai berupa data sekunder dan data primer. Data sekunder terdiri dari; kondisi umum wilayah dan kondisi aktifitas yang sedang berlangsung. Data primer terdiri dari data spasial dan hasil pengukuran dilapangan (raster dan vector), selain itu digunakan Citra satelit Landsat 5 TM Path/Row 123/57 direkam pada tahun 2002 dan Peta digital kedalaman perairan Pulau Bunguran serta Peta Laut Natuna, Dishidros TNI AL.
            Proses penentuan kesesuaian kawasan tersebut dilakukan dengan menggunakan operasi spasial dengan memanfaatkan aplikasi SIG. Operasi spasial tersebut merupakan operasi tumpang susun (overlay), operasi tumpang susun adalah suatu proses penyatuan data spasial dan merupakan salah satu fungsi efektif dalam SIG yang digunakan dalam analisa keruangan. Sedangkan metode yang digunakan adalah weighted overlay. Weighted overlay memberikan pertimbangan terhadap faktor atau kriteria yang ditentukan dalam sebuah proses pemilihan kesesuaian. Hal ini diperkuat oleh Ramadhani et al., (2016), yang menyatakan bahwa Sistem Informasi Geografis (SIG) melalui metode analisis overlay telah mampu mendukung pengukuran kelayakan suatu lahan sehingga dapat digunakan untuk menganalisa kelayakan lahan tambak berdasarkan sebaran parameter perairannya. Metode SIG digunakan dalam penelitian ini untuk memberikan gambaran spasial terhadap kesesuaian lingkungan perairan dalam kegiatan budidaya.
            Secara umum pengolahan data spasial untuk kesesuaian kawasan KJT dan rumput laut meliputi analisis fisik dan biologi perairan yang meliputi klorofil-a, DO, BOD, kecerahan, serta kedalaman. Data-data tersebut diolah dengan weighted overlay sehingga ditemukan kesesuaian kawasan untuk budidaya laut. Menurut Affan (2012), Kecerahan menunjukkan kemampuan penetrasi cahaya kedalam perairan. Tingkat penetrasi cahaya sangat dipengaruhi oleh partikel yang tersuspensi dan terlarut dalam air sehingga mengurangi laju fotosintesis. kecerahan untuk kegiatan budidaya perikanan sebaiknya lebih dari 3 m. Oksigen terlarut merupakan parameter yang paling kritis di dalam budidaya ikan. Kelarutan oksigen didalam air dipengaruhi suhu, salinitas dan tekanan udara. Untuk kepentingan budidaya ikan, oksigen terlarut yang optimal berkisar 5 – 8 mg/l. Kedalaman perairan sangat penting bagi kelayakan budidaya,
Kedalaman optimal saat surut antara dasar keramba dengan dasar perairan adalah 4 – 5 m.
            Menurut Arief dan Laksmi (2006), klorofil-a merupakan klorofil yang paling banyak terdapat dalam fitoplankton dan merupakan bagian yang terpenting dalam proses fotosintesis. Sebagian fitoplankton yang hidupdi laut banyak mengandung klorofil-a tersebut. Oleh karena it, adanya klorofil-a di suatu perairan dapat digunakan sebagai indikasi suburnya perairan tersebut. Pemetaan sebaran klorofil-a di laut pada dasarnya dapat dilakukan dengan berbagai citra satelit, yaitu Landsad-ETM7+ dengan resolusi citra 30 m.
            Penelitian ini dilakukan di sembilan Desa yang ada di Pulau Bunguran, Kabupaten Natuna. Adapun desa yang menjadi lokasi kegiatan tersebut yaitu Desa Pengadah, Desa Kelanga, Desa Tanjung, Desa Sepempang, Desa Cemaga, Desa Sabang, Mawang Desa Sededap, Desa Pulau Tiga dan Desa Kelarik. Hasil analisa spasial dengan menggunakan metode weighted overlay diperoleh tiga kesesuaian kawasan KJT dan Rumput Laut yaitu: sangat sesuai, sesuai dan tidak sesuai.
           Kesesuaian kawasan untuk karamba jaring tancap (KJT) dan rumput laut berada pada kelas sesuai yaitu sebesar 49,4% dengan luas kawasan 76.491,63 Ha, kemudian kelas sangat sesuai sebesar 31,1% luas 48.193,92 Ha dan tidak sesuai sebesar 19,5% atau 30.174,3 Ha. Jika dominansi kelas kesesuaian kawasan berada pada kelas sesuai dan sangat sesuai maka dapat dikatakan bahwa hampir disepanjang garis pantai Pulau Bunguran dapat dilakukan aktifitas KJT dan rumput laut seperti keramba jaring tancap maupun budidaya rumput laut.
Analisa spasial kawasan Pulau Bunguran dengan menggunakan metode weighted overlay memberikan hasil bahwa dominansi kesesuai kawasan untuk kegiatan KJT dan rumput laut berada pada kelas sesuai yaitu sebesar 49,4%, kemudian kelas sangat sesuai sebesar 31,1% dan tidak sesuai sebesar 19,5%. Hasil analisa untuk Desa Pengadah, Kelanga, Tanjung dan Sepempang menunjukkan sebagian besar perairan di keempat desa tersebut layak dilakukan aktifitas KJT dan rumput laut karena kelas kesesuaian berada pada kelas sangat sesuai dan sesuai. Di perairan Desa Cemaga kelas sesuai mendominasipada perairan ini, diikuti oleh kelas sangat sesuai dan tidak sesuai. Kelas tidak sesuai dapat ditemukan disepanjang garis pantai Tanjung Medang dan pada beberapa pulau kecil. Hasil analisa kesesuaian kawasan terlihat sebagian besar kawasan pada perairan Pulau Tiga tidak sesuai khususnya pada bagian luar Pulau Tiga yang berada di bagian Barat Selatan dan Timur. Namun pada perairan antar pulau (selat-selat) merupakan kawasan yang sangat sesuai dan sesuai untuk aktifitas KJT dan rumput laut. Di perairan Desa Kelarik sebagian besar merupakan kawasan yang cocok untuk melakukan kegiatan KJT dan rumput laut. Dominasi kelas kesesuaian sesuai dan sangat sesuai tersebar merata diperairannya.
Berdasarkan jurnal tersebut, hasil di beberapa Desa seperti pada sekitar Pulau Sahi di Desa Tanjung, Pulau Senoa, Desa Sepempang. disepanjang garis pantai Tanjung Medang bagian luar Pulau Tiga yang berada di bagian Barat Selatan dan Timur, serta pulau-pulau kecil yang yang ada di Desa Kelarik sebagian besar dikarenakan kedalaman yang tidak sesuai untuk usaha karamba jaring apung dan rumput laut. Kedalaman menjadi pembatas kesesuaian karena memiliki pengaruh yang paling besar diantara faktor-faktor lainnya. Usaha budidaya menggunakan jaring tancap memerlukan kedalaman sekitar 0,5 meter pada saat surut terendah. Rumput laut juga memerlukan kecerahan yang baik, artinya perairantersebut tidak terlalu dalam agar intensitas cahaya matahari yang masuk kedalam perairan dpat dimanfaatkan oleh rumput laut secara maksimal untuk proses fotosintesis. Hal ini diperkuat oleh Soenardjo (2011), yang menyatakan bahwa faktor kecerahan yang mendukung pertumbuhan rumput laut adalah minimal 1,5m Kondisi ini sangat mendukung bagi pertumbuhan rumput laut dimana proses fotosintesa dapat berlangsung secara maksimal. Seperti diketahui hasil dari fotosintesa digunakan oleh tumbuhan dalam pertumbuhan dan perkembangan.
2. Review jurnal dengan Judul “Pengukuran Konsentrasi Klorofil-A Dengan Pengolahan Citra Landsat Etm-7 Dan Uji di Perairan Selat Madura Bagian Barat”.
Penelitian lain menggunakan metode penginderaan jauh dilakukan oleh Nuriya dkk. tahun 2010 yang bertujuan untuk mengetahui sebararan klorofil-a diperairan Selat Madura bagian Barat. Klorofil merupakan parameter yang sangat menentukan produktivitas primer lautan. Ketersediaan nutrien dan intensitas cahaya matahari sangat mempengaruhi konsentrasi klorofil-a suatu perairan. Apabila nutrien dan intensitas cahaya matahari tersedia cukup, maka konsentrasi klorofil akan tinggi begitu pula sebaliknya. Distribusi dan kelimpahan fitoplankton dapat diketahui dari kandungan klorofilnya melalui teknologi penginderaan jauh, seperti dari citra satelit Landsat. Citra Landsat bisa memberikan informasi data perairan berdasarkan nilai spektral obyek yang direkam oleh sensor Landsat. Salah satu contoh aplikasi penginderaan jauh tersebut digunakan untuk mendeteksi klorofil, suhu permukaan laut, dan lain sebagainya. Uji akurasi citra dilakukan untuk mengetahui sejauh mana citra dapat memberikan informasi tentang klorofil perairan. Hasil uji akurasi citra nantinya akan dibandingkan dengan nilai klorofil yang telah diuji melalui analisis laboratorium. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui persebaran kandungan klorofil-a di Selat Madura bagian barat yang didapatkan melalui pengolahan citra Landsat ETM 7 dan dibandingkan dengan analisa laboratorium.
            Penelitian sebaran klorofil ini dilakukan dengan pengukuran konsentrasi klorofil dari sampel air laut dan analisis citra satelit. Klorofil-a yang akan diteliti merupakan kandungan klorofil-a yang ada di perairan Selat Madura bagian Barat khususnya daerah perairan Socah, Kamal, Labang dan Kwanyar. Kanal tiga dan kanal empat dari citra satelit Landsat dapat digunakan untuk mendeteksi konsentrasi klorofil-a di perairan. Setelah model diperoleh, dilakukan pengujian terhadap hasil analisis klorofil. Uji analisis menggunakan RMS error yang dapat mencerminkan perbedaan antara nilai data lapang dengan nilai hasil ekstraksi citra satelit .
            Dari hasil olah citra dengan menggunakan citra Landsat ETM 7 dapat diketahui pada perairan Selat Madura bagian utara mempunyai konsentrasi klorofil lebih tinggi dari Selat Madura bagian barat berkisar antara 0.04-0.08 mg/m3, pada bagian barat dengan konsentrasi klorofil paling rendah yaitu konsentrasi klorofil antara 0-0.04 mg/m3 dan pada bagian selatan sebagian perairan dengan kandungan klorofil rendah tapi di bagian lainnya mempunyai konsentrasi klorofil yang tinggi. Konsentrasi klorofil hasil dari pengolahan citra berkisar dari 0.011 sampai 0.210 mg/m³. Daerah dengan konsentrasi klorofil hasil pengolahan citra terendah terdapat pada stasiun 9 sebesar 0.011 mg/m³ yaitu di perairan Kwanyar. konsentrasi klorofil tertinggi yaitu pada stasiun 7 tepatnya di perairan Labang sebesar 0.210 mg/m³. Nilai rata-rata konsentrasi klorofil dari pengolahan citra adalah 0,03536 mg/m3, dengan nilai minimun 0,011 mg/m3 dan nilai maksimum 0,21 mg/m3, SE = 0,017561, SD = 0,58245, dan range = 0,199. Nilai akurasi dari data hasil olah citra adalah 0,4966. Nilai akurasi semakin mendekati 0,1 maka semakin bagus, namun pada akurasi citra ini relatif rendah.
            Hasil pengamatan dalam artikel, diketahui nilai konsentrasi klorofil di tiap stasiun berbeda-beda. Hal ini tergantung dari waktu pengambilan serta ketepatan saat uji analisis di laboratorium, karena sampel klorofil yang diambil berbeda lokasi dan letaknya berjauhan, maka waktu pelaksanaan pun berbeda. Pengambilan sampel pun dilakukan tidak pada waktu yang sama. Nilai klorofil paling rendah terdapat pada stasiun 8 yaitu pada perairan Labang dengan kandungan klorofil sebesar 0.004 mg/m³, sedangkan nilai klorofil tertinggi terdapat pada stasiun 5 daerah perairan Kamal dengan kandungan klorofil 2.670 mg/m³. Rata-rata konsentrasi klorofil adalah 0,42055 mg/m3 dengan nilai minimum 0,004 dan nilai maksimum 2,67, SE = 0,2667, SD = 0,58245, dengan range 2,666. Nilai akurasi untuk data hasil analisis laboratorium adalah 0,6341, nilai akurasi untuk analisis laboratorium ini juga rendah karena akurasi yang bagus jika
mendekati 0,1.
            Setelah diketahui nilai dari kedua analisis maka diadakan uji analisis dengan menggunakan RMSE. RMSE mencerminkan perbedaan antara nilai data lapang dengan nilai hasil ekstraksi citra satelit. Hasil uji akurasi dengan menghitung RMSE yaitu 0,934664. Nilai RMSE dari citra Landsat untuk klorofil Selat Madura adalah 1,0631. Dari nilai RMSE yang didapat dapat disimpulkan bahwa data yang didapatkan akurat karena semakin kecil nilai RMSE maka semakin akurat data yang diperoleh.
            Data yang diolah dari hasil pengolahan citra maupun analisis laboratorium dapat diketahui menggunakan uji-t, dimana uji-t nantinya dapat memberikan informasi  apakah data dari kedua analisis ini mirip atau tidak. Dapat disimpulkan bahwa konsentrasi klorofil dari hasil pengolahan citra dan analisis laboratorium sama. Pengolahan citra dan analisis laboratorium didapatkan hasil yang sama sehingga dapat menunjukkan akurasi citra mampu memberikan informasi konsentrasi perairan setelah membandingkan dengan data lapang. Dapat dilihat dari hasil penghitungan RMS error data yang dihasilkan akurat karena nilai RMS error yang dihasilkan rendah. Serta pada uji-t ratarata data menunjukkan kemiripan atau kesamaan konsentrasi klorofil. Jadi, citra hasil penginderaan jauh masih dapat memberikan informasi tentang suatu objek tanpa harus ke lapang untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan.
            Sedangkan menurut Kunarso et al., (2011), yang menyatakan bahwa kandungan klorofil-a dapat digunakan sebagai indikator tingkat kesuburan dan produktifitas perairan. Faktor penyebab naiknya klorofil-a adalah meningkatnya konsentrasi nutrien terlarut dan intensitas cahaya matahari yang masuk ke perairan. Klorofl-a sangat penting dalam kegiatan budidaya untuk kesuburan perairan, dengan adanya fitoplankton dan zooplankton. Penginderaan jarak jauh menggunakan citra satelit ini sangat menarik untuk dilakukan, karena dapat mengetahui potensi atau disini yaitu kandungan klorofil-a dengan menghemat waktu dan tenaga. Sehingga dapat memajukan kegiatan budidaya perikanan tanpa harus melakukan kegiatan penelitian langsung ke lokasi pengamatan seperti contoh dengan hasil olah citra menggunakan citra Landsat ETM 7 ini, dapat diketahui pada perairan Selat Madura bagian utara mempunyai konsentrasi klorofil lebih tinggi dari Selat Madura bagian barat. Jadi adanya penginderaan jarakjauh ini dapat menghemat waktu, tenaga dan lebih efisien. 

Kesimpulan yang didapatkan berdasarkan hasil review jurnal mengenai penerapan Sistem Informasi Geografis dan penginderaan jauh pada kegiatan budidaya perairan adalah penggunaan SIG dan penginderaan jauh berfungsi untuk menentukan lokasi yang sesuai pada kegiatan budidaya perairan. Penggunaan SIG dan penginderaan jauh pada masyarakat budidaya dapat mengoptimalkan pemanfaatan wilayah perairan yang ada disekitarnya, serta dapat menghemat waktu dan tenaga dalam melakukan penelitian wilayah.
Ringkasan jurnal ilmiah
Skrining Bakteri Vibrio Sp. Asli Indonesia sebagai Penyebab Penyakit Udang Berbasis Teknik 16S Ribosomal DNA
Feliatra Felix*, Titania T Nugroho**, Sila Silalahi*, dan Yuslina Octavia*

Penyakit udang merupakan salah satu penghambat produksi udang, salah satunya yaitu serangan bakteri Vibrio sp. yang dapat menyebabkan kematian massal pada budidaya udang. Udang yang terserang Vibrio umumnya ditandai dengan gejala klinis, dimana udang terlihat lemah, berwarna merah pucat, antena dan kaki renang berwarna merah. Bakteri ini merupakan jenis patogen yang menginfeksi dan menyebabkan penyakit pada saat kondisi udang lemah dan factor lingkungan ekstrim. Penanggulangan serangan Vibrio perlu dilakukan deteksi bakteri jenis Vibrio yang tepat, karena dalam suatu perairan berbeda memiliki keragaman spesies Vibrio yang berbeda pula.  Teknologi yang digunakan yaitu mampu mengetahui struktur DNA, yakni dengan teknik sekuen 16S rDNA. Skrinning bakteri menggunakan teknik sekuens 16S rDNA merupakan suatu teknik mengidentifikasi suatu spesies organisme. Teknik ini dilakukan dengan menganalisa struktur/susunan basa DNA yang terdapat di daerah 16S DNA. Basis data bakteri genus vibrio terus berkembang dengan penemuan-penemuan spesies baru . Basis data tersebut dapat diakses di Gen Bank.Dalam artikel ini, penelitian bertujuan untuk mengetahui spesies bakteri Vibrio sp. asli Indonesia yang menyebabkan penyakit pada udang windu di lokasi budidaya tambak, dan memperkaya gen dan basis data di Gen Bank dunia. Metode penelitian yang digunakan adalah eksperimen, dengan melakukan isolasi dan identifikasi morfologi dan kimia bakteri Vibrio sp. Ciri udang yang diambil yakni bergerak lambat terhadap respon yang diberikan, lemah, dan memiliki warna yang lebih pucat dibandingkan udang yang lain. Selanjutnya dilakukan penanaman bakteri pada media TCBS. Setiap koloni berbeda yang diperoleh direinokulasi sebanyak tiga ulangan menggunakan media TSA. Penyimpanan isolat bakteri Vibrio dilakukan pada suhu 4°C dalam refrigator dan siap untuk digunakan pada pengujian selanjutnya.      
Pengamatan dilakukan secara langsung dengan mengidentifikasi secara morfologi antara lain : bentuk sel, warna koloni, ukuran koloni dan tipe koloni. Selain itu, uji coba biokimia juga dilakukan terhadap uji bakteri. Uji morfologi maupun uji biokimia yaitu : Pewarnaan Gram, Pertumbuhan pada Medium TSI Agar, Uji Katalase, uji Oksidase, Uji Metil Red, Isolasi DNA Vibrio, Reaksi Polimerisasi Berantai, Elektroforesis dan Pengamatan Hasil PCR, Purifikasi Gel Elektroforesis, Sekuensing dan Analisis BLAST, Analisis BLAST dilakukan dengan mengedit urutan DNA hasil sekuensing dengan menterjemahkan N menjadi basa sesuai elektroferogram. Urutan DNA dicopy ke program Notepad. Selanjutnya dilakukan penelusuran melalui website http://www.ncbi.nih.nlm.gov/. Data yang diperoleh dari hasil sekuensing dianalisis menggunakan teknik BLAST, paket program Clustal X, Genedoc, Treeview dan Bioedit. Kemudian hasil analisis disajikan secara deskriptif dalam bentuk tabel dan gambar.    Berdasarkan hasil isolasi Vibrio dari udang, air tambak dan air laut menggunakan medium agar TCBS diperoleh 7 isolat bakteri Vibrio yang murni dengan memperhatikan warna, bentuk dan ukuran koloni. Untuk memudahkan dalam mengidentifikasi selama penelitian, ketujuh isolat tersebut diberi kode A, B, C, D, E, F, dan G. Pada pengkulturan selanjutnya, media yang digunakan adalah agar TSA Merck. Ketujuh isolat yang diteliti memiliki koloni isolat bakteri berbentuk koma. Semua isolat Vibrio menunjukkan hasil oksidase dan katalase positif. Uji menggunakan medium agar TSI untuk memperlihatkan terjadinya fermentasi glukosa dan sukrosa serta gas H2S menghasilkan semua isolat adalah Glukosa positif sedangkan untuk sukrosa, A, C dan E adalah negatif dan sisanya adalah positif.  
Sistem BLAST (Basic Local Aligment Search Tool) melalui situs http://www.ncbi.nlm.nih.gov/ dapat mencari nama spesies, persentase homologi DNA hasil sekuens. Hasil BLAST (Basic Local Alignment Search Tool) melalui http://www.ncbi.nlm.nih.gov/, menunjuk-kan bahwa kelima strain adalah Vibrio alginolyticus, Vibrio parahaemolyticus, Vibrio harveyi, Vibrio shilonii, dan Vibrio vulnificus. Hal ini diyakini bahwa bakteri-bakteri tersebut memiliki persamaan sekuens melebihi 97% dari yang ada pada gen Bank Dunia. Sedangkan dua strain lain sudah diyakini merupakan genus Vibrio sp, tetapi spesiesnya belum diketahui. Strain keenam memiliki kesamaan sebesar 93% dengan bakteri Vibrio 6G2. Sedangkan strain ketujuh memiliki persentase homologi 94% dengan beberapa kandidat bakteri yang disebut sebagai Uncultured bacteriu. Hal ini di duga bahwa kedua strain tersebut merupakan spesies Vibrio asli Indonesia yang belum ada dalam gen bank Dunia, karena memiliki persamaan sekuens antara 93%-97%, sehingga dapat mewakili identitas pada tingkat genus tetapi berbeda pada tingkat spesies. 
Penyejajaran (Allignment) sekuens sampel dengan sekuens dari basis data Gen Bank dilakukan menggunakan program Clustal X. Pohon filogenetik berfungsi untuk menunjukkan hubungan kekerabatan dari setiap spesies yang dilihat berdasarkan karakteristik molekuler antar spesies maupun antar strain dalam spesies yang sama. Dari ketujuh isolat dapat dilihat tingkat kekerabatan dari bakteri Vibrio sp yang ada, kelima isolat sudah dipastikan merupakan isolat yang sudah ada, tetapi isolat G dan Isolat H dari hasil sekuensing dan pohon philogenetik tidak merupakan dari bakteri Vibrio sp yang sudah ada. Tetapi dari hasil morfologi dan hasil uji biokimianya menunjukkan bahwa isolat G dan H merupakan suatu bakteri dari genus Vibrio, oleh karena itu dapat disimpulkan secara sementara bahwa isolat G dan H adalah bakteri spesies baru dari Vibrio. Dari hasil penelitian tersebut didapat bahwa isolat bakteri yang berhasil diidentifikasi dengan menggunakan analisis 16S rDNA dari perairan Indonesia (kepulauan Bengkalis, Sumatera dan dari tambak di Jepara, Jawa), lima strain diantaranya sudah terdaftar secara internasional pada gen Bank Dunia, yaitu Vibrio alginolyticus, Vibrio parahaemolyticus, Vibrio harveyi, Vibrio shilonii, dan Vibrio vulnificus. dengan tingkat homolog diatas 97%, sedangkan dua strain diantaranya merupakan strain yang belum terdaftar secara Internasional dalam gen bank dunia, dan ini diyakini merupakan Vibrio sp asli Indonesia.
Sumber : Felix,F,T.T.Nugroho,S.Silalahi dan Y.Octavia.Skrining Bakteri Vibrio Sp Asli Indonesia sebagai Penyebab Penyakit Udang Berbasis Tehnik 16s Ribosomal DNA.Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis.3(2):85-99.


lihat selengkapnya pada link dibawah ini
Diberdayakan oleh Blogger.